Sabtu, 06 Juni 2020

MALAM INI JAKARTA BANJIR LAGI DAN PEMERINTAH BELUM PUNYA SOLUSI YANG EFEKTIF.

(FB M. Jehansyah Siregar 20-2-2020)

Banjir akan terus melanda permukiman di area-area yang rendah dan bantaran sungai di semua wilayah Jakarta. Percayalah, baik karena banjir kiriman, hujan deras setempat maupun ombak rob dari laut. Sejak zaman Belanda saja sudah diketahui, Jakarta itu memang kota muara sungai dan membutuhkan banyak tempat tidur air. Belanda sudah memproyeksikan Jakarta hanya untuk 500 ribu penduduk saja. Sekarang urbanisasi cepat di Jabodetabek sudah jauh sekali melampaui daya dukung Jakarta untuk memukimkan 10 juta penduduk dan lebih 15 juta di Bodetabek. Jauh sekali melampaui.

Namun Pak Menteri PUPR masih saja bicara soal pembebasan tanah yang dituding jadi masalah normalisasi sungai. Begitu juga Pak Gubernur Jakarta yang merasa punya program alternatif naturalisasi sungai. Sebenarnya bukan airnya yang jadi masalah, bapak-bapak pejabat yang terhormat. Tapi permukimannya!  Jakarta itu memang berada di muara sungai, namun sudah dibangun permukiman dan kota yang begitu masif melampaui daya dukungnya. Baik daya dukung alam maupun buatan! Itu masalahnya, bapak-bapak pejabat.

Karena itu Jakarta dan Bodetabek perlu program penataan permukiman skala besar, terutama simpul-simpul permukiman padat yang tidak terencana dan yang menyalahi aturan tata ruang di 13 DAS. Ada sekitar 3 juta penduduk dan permukimannya yang perlu ditata secara komprehensif. Kasihan warga kalau pemerintah (pusat maupun provinsi) terus berpolemik dan tidak menyelesaikan masalah permukiman di Jakarta. Penataan permukiman padat membutuhkan pengembangan area-area permukiman baru di sekitar Jabodetabek, sebagai destinasi program pemukiman kembali. Area-area baru itu terhubung dengan akses transportasi, air bersih dan jaringan listrik di simpul-simpul strategis Jabodetabek.

Jabodetabek adalah wilayah urbanisasi paling tinggi pertumbuhannya di tanah air dan urbanisasi itu adalah kepentingan publik. Karena itu pemerintah tidak bisa membiarkan urbanisasi Jabodetabek terus disandarkan pada mekanisme pasar yang sangat liberal. Sangat banyak kepentingan publik yang jadi taruhannya. Selain kemacetan, minimnya ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru, kekurangan air bersih dan listrik, yang jelas kekurangan hunian layak sesuai UUD 45 Pasal 28H! Ingat-ingatlah amanat UUD45 dan Pancasila.

Pemerintah harus hadir dan melakukan intervensi yang signifikan. Jabodetabek saja membutuhkan ratusan ribu unit apartemen sewa sederhana untuk golongan bawah. Artinya membutuhkan puluhan area baru di Jakarta dan Bodetabek. Untuk itu pemerintah pusat dan daerah harus segera bersama-sama menyusun program perumahan dan permukiman terpadu berskala besar. Baik penataan, pemukiman kembali maupun pengembangan permukiman baru.

Penguasaan lahan, penataan ruang, akses transportasi, air bersih, listrik, alokasi fasos-fasum dan prasarana lainnya tidak boleh lagi dijadikan proyek biasa yang jadi objek negosiasi dan spekulasi dengan pihak ketiga (yunowla). Pemerintah harus sudah mengkonsolidasi semua risorsis tersebut bersamaan dengan pemantapan instrumen-instrumen pembangunan yang dibutuhkan. Kasihanilah Ibu Menteri Keuangan yang kini merasa bokek karena praktek pembangunan infrastruktur dan tata ruang dan penguasaan tanah yang hanya jadi beban fiskal negara!

Dari penguasaan lahan di beberapa kota baru yang dibangun pengembang swasta di Jabodetabek, ada puluhan ribu hektar lahan yang belum dibangun oleh para developer dan hanya dianggurkan untuk spekulasi lahan. Yang begini harus diaudit dong. Jika tidak, ini sungguh praktek ANTI PANCASILA. Manakala ada banyak permukiman padat kumuh langganan banjir dan warga yang lapar tanah dan permukiman layak di Jabodetabek, pada saat yang sama para developer serakah dibiarkan menimbun-nimbun lahan dan terus diberikan izin-izin lokasi yang akan dinikmati kenaikan nilainya sejalan dengan nego-nego memasukkan infrastruktur publik ke lahan mereka? Jelas, ini  praktek kapitalistik liberal dan anti Pancasila! 

Sekarang ada lebih 32 simpul stasiun LRT dan MRT di Jabodetabek yang berpotensi untuk penyediaan hunian terjangkau berkepadatan tinggi. Namun pemerintah pusat dan daerah tidak ada langkah yang berarti untuk menguasai lahan strategis di radius TOD sejarak 800 meter dari stasiun kereta. Justru spekulasi lahan kini terus terjadi di area-area tersebut yang dimotori oleh makelar tanah dan pengusaha properti di belakangnya. Akhirnya spekulasi ini semakin meminggirkan warga kelas bawah yang menjual tanahnya di area-area TOD yang kelak akan meroket nilai lahannya.

Praktek spekulasi menumpuk-numpuk tanah untuk meraup keuntungan dari kenaikan nilai tanah milik ibu pertiwi terus dibiarkan. Sementara Pak Menteri PUPR dan Pak Gubernur Jakarta belum punya solusi perumahan dan permukiman di Jabodetabek. Mereka terus memperdebatkan soal sungai dan saluran air dan sebagainya yang bukan akar masalahnya. Normalisasi atau naturalisasi? Bah !

https://www.medcom.id/nasional/metro/zNAYMnnN-banjir-di-bidara-cina-akibat-luapan-kali-ciliwung

Rabu, 09 November 2011

Kawasan Kumuh Tantangan Medan

Friday, 04 November 2011 23:08


Waspada. Warta Online

MEDAN – Ledakan penduduk yang lazim terjadi kota-kota besar tidak terkecuali Medan, akan menimbulkan menjamurnya pemukiman kumuh hingga tidak terkontrol. Ini menjadi masalah di kota-kota besar, terutama di negara yang sedang berkembang.

Terlebih harapan untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) belum terpenuhi akibat tidak sesuai dengan kemampuan anggaran yang ada. Demikian benang merah dalam workshop perkotaan yang digelar oleh Pemerintah Kota (Pemko) Medan.




Menurut Dwira Nirfalani Aulia dari Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dengan judul ceramahnya Potret permasalahan kawasan pemukiman kumuh MBR di Kota Medan, pada 2008 di Kota Medan terdapat kawasan kumuh yang menyebar di 151 kelurahan dengan luas mencapai 881,66 ha dengan presentasi kawasan kumuh sebesar 3,32 persen.

Dalam persentasinya, Dwira Nirfalani mengangkat potret kawasan kumuh di lokasi Kampung Aur yang terletak di Kecamatan Medan Maimun lingkungan III dan IV dengan jumlah penghuni 3.263 jiwa atau 768 KK, jumlah rumah 432 unit terdiri dari 271 unit permanen, 99 unit semipermanen dan 62 unit rumah kayu, dengan status kepemilikan rumah 287 KK menyewa, dan 236 status pemilik.

Selain itu juga diangkat potret kawasan kumuh di bantaran rel kereta api di Kelurahan Tegal Sari Mandala II, dimana pemukiman ini sudah ada sebelum Perumnas Mandala berdiri. Pada awalanya terdapat 10 orang migran menetap di sana, tiap tahun jumlahnya bertambah hingga sampai ke arah timur, mendekati tepi sungai Denai. Sampai sisi sebelah kiri rel kereta api yang berbatasan dengan Kelurahan Bantan, Kecamatan Medan Tembung. Berdasarkan data terdapat 21.967 jiwa penduduk yang tersebar 15 lingkungan dengan 4.286 rumah tangga.

M Jehansyah Siregar, dengan judul Prakondisi Medan Menuju Kota Bebas Kumuh, memamparkan bahwa pemukiman kumuh tetap menghias wajah kota besar termasuk Kota Medan.

Meskipun angka pemukiman kawasan kumuh relatif lebih kecil dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya, namun permasalahan kumuh yang sama di semua kota besar ini perlu menjadi perhatian untuk segera dituntaskan. Berdasarkan data PU Cipta Karya 2008, di Kota Medan terdapat 168 lokasi permukiman kumuh, dengan luas 31 ha, jumlah bangunan di kawasan kumuh 14.101 unit, 15.927 KK dan jumlah penduduk 63.708 jiwa.

Sekretaris Daerah Pemko Medan, Syaiful Bahri mengatakan, workshop ini dimaksud sebagai upaya Pemerintah Kota Medan untuk mengidentifikasi kembali permasalahan yang ada serta mencari solusinya, khususnya untuk pemenuhan perumahan masyarakat berpenghasilan menengah rendah dan pencegahan kawasan kumuh.

“Selain itu juga mengidentifikasi peluang dan kesempatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kota Medan dan para pelaku pembangunan perumahan untuk percepatan pemenuhan kebutuhan perumahan di Kota Medan,” ujarnya.
Editor: HARLES SILITONGA


http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=222593:kawasan-kumuh-tantangan-medan&catid=77:fokusutama&Itemid=131


http://www.starberita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=39176:kota-medan-masih-dihuni-kawasan-pemukiman-kumuh&catid=158:sosial&Itemid=391


 http://www.barometersumut.com/umum_post.php?id=723




Dinas Perkim Medan tak Becus





Salah satu lokasi kumuh, Kampung Aur Medan dan rumah kumuh di rel PJKA.ORBIT/Aryanul Lubis

168 Lokasi Pemukiman Kumuh

Medan-ORBIT: Pemukiman kumuh di tengah Kota Medan merupakan masalah utama yang harus mendapat perhatian. Pemko Medan terutama Dinas Perumahan dan Pemukiman (perkim) diminta serius menangani masalah itu.
Anggota DPRD Medan, Khairuddin Salim, kepada Harian Orbit, Senin (7/11), mengungkapkan banyaknya kawasan pemukiman kumuh di pinggiran Kota Medan sangat memprihatinkan.
“Ada 168 lokasi kawasan kumuh di Kota Medan. Ini menunjukkan kinerja Dinas Perkim yang tidak becus menangani masalah ini,” ujar Khairuddin.
Dia meminta Pemko Medan untuk tidak hanya fokus membangun hotel dan mall yang membanjiri Kota Medan. “Pemko Medan jangan sibuk mengurusi hotel, mall atau apartemen, namun kawasan kumuh ini juga harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Dijelaskan politisi partai Demokrat itu, Pemko Medan harus melakukan pembangunan atau penataan kembali kawasan kumuh. Misalnya dengan pembangunan rumah susun atau pembangunan rumah murah. “Jika hal tersebut dilakukan, kita yakin masalah pemukiman kumuh ini dapat diselesaikan,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam seminar yang dihadiri Sekda Kota Medan Syaiful Bahri terungkap, pada tahun 2008 di Kota Medan terdapat 168 lokasi pemukiman kumuh. Dengan luas 31 hektar, jumlah bangunan di kawasan kumuh 14.101 unit, jumlah KK 15.927 KK dan jumlah penduduk 63.708 jiwa.

Mencari Solusi
Seminar yang bertemakan Upaya Penanganan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Pencegahan Kawasan Kumuh, Kamis (3/11) di Hotel Darma Deli Medan itu, presentasi kawasan kumuh di Kota Medan mencapai 3,32 persen.
Dwira Nirfalani Aulia dari program magister teknik arsitektur USU yang bertindak sebagai pembicara mengatakan, tahun 2008 kawasan kumuh di Kota Medan menyebar di 151 Kelurahan dengan presentasi kawasan kumuh sebesar 3,32 persen.
“Salahsatu kawasan kumuh di Kota Medan terletak di kawasan Kampung Aur Kecamatan Medan Maimun, dan bantaran rel kereta api di Kelurahan Tegal Sari Mandala II,” terang Dwira.
Untuk itu, tambahnya, kepada Pemko Medan diminta memprioritaskan penanganan kawasan pemukiman kumuh itu.
Sementara itu Ir M Jehansyah Siregar MT PhD yang juga pembicara dalam workshop mengatakan, permasalahan pemukiman kumuh tetap menghiasi Kota Medan, walaupun kawasan kumuh di Kota Medan relatif lebih kecil.
“Berdasarkan data PU Cipta Karya tahun 2008 di Kota Medan terdapat 168 lokasi pemukiman kumuh, dengan luas 31 hektar, jumlah bangunan dikawasan kumuh 14.101 unit, jumlah KK 15.927 KK dan jumlah penduduk 63.708 jiwa. Hal ini tentunya harus segera dituntaskan,” terangnya.
Sedangkan Walikota Medan diwakili Sekda Ir Syaiful Bahri MM mengatakan, seminar itu sebagai salahsatu upaya untuk mendapatkan masukan dan mencari lahan sehingga lahan tersebut layak huni. Selain itu, melalui kecamatan diharapkan tidak lagi membiarkan pembangunan yang berada di bantaran sungai.
“Semoga dalam seminar ini muncul pemikiran, ide-ide untuk mencari solusinya.,” tukas Syaiful. Or-12


http://harianorbit.com/?p=10086

Minggu, 05 Juni 2011

Perpres Gedung Negara Segera Terbit

Bisnis Indonesia. Bisnis.com.
Published On: 02 June 2011
 
JAKARTA: Pemerintah telah menyelesaikan Peraturan Presiden tentang pembangunan dan pemanfaatan gedung negara yang akan segera disahkan dalam waktu dekat guna melengkapi Peraturan Menteri yang telah ada.

Seperti diketahui, selama ini semua pembangunan gedung yang menggunakan dana APBN harus mengikuti standar sesuai dengan Permen PU No. 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara.

Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Budiyuwono mengatakan tidak ada hal yang baru dalam Perpres tersebut terkait teknis pembangunan gedung negara. Hanya saja poin pentingnya seluruh gedung negara yang menggunakan dana APBD harus mengikuti standar peraturan yang berlaku.

“Selama ini Permen yang ada seolah tidak menjangkau gedung yang dibangun dengan dana APBD. Namun dalam Perpres ini semua gedung Negara yang dibangun dengan dana APBN atau APBD harus mengikuti standar perhitungan yang telah ada,” ujar Budi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dengan dikeluarkannya Perpres tersebut, Budi berharap seluruh pembangunan gedung lebih efisien sebab seluruh ruang kerja pejabat Negara diatur sesuai standar mulai dari luas, biaya pembangunan dan fasilitas perlengkapan.

Standar tersebut, tambahnya akan sama di seluruh daerah meski dana APBD yang dimiliki masing-masing daerah berbeda satu dan lainnya.

“Rata-rata luas ruang kerja 10m2, tergantung pejabat apa. Kita harap melalui Perpres ini tidak ada lagi gedung-gedung pejabat Negara di berbagai daerah maupun di kota yang mewah, dan megah karena sudah ada aturan standarnya.”

Menurutnya, Perpres disusun karena banyaknya daerah yang menghabiskan dana APBD untuk membangun gedung mewah bagi pejabat tanpa memperhitungkan asas manfaat padahal kesejahteraan rakyat di daerah tersebut terabaikan karena kurangnya dana.

Selain di daerah, banyak pula gedung-gedung pemerintahan yang dianggap terlalu mewah tanpa memperhitungkan standar luas bangunan sesuai Permen PU salah satunya gedung baru DPR RI yang semula direncanakan 36 lantai dengan dana Rp 1,1 triliun turun menjadi Rp777 miliar dengan tinggi gedung 26 lantai.

Sementara itu, terkait evalusi pembangunan gedung baru DPR, Pakar Perumahan dan Pemukiman ITB Jehansyah Siregar mengatakan bahwa Kementerian PU tidak memiliki kewenangan menentukan program kebutuhan ruang dan fasilitas gedung baru DPR.

“Sebaliknya DPR jangan menjadikan Kemen PU sebagai tameng justifikasi. Pengurangan ruang yang besar namun penurunan anggaran yang kecil masih menyisakan pertanyaan,” katanya.

Oleh karena itulah, dia berharap Bappenas mengadakan sayembara dalam dua tahapan. Pertama sayembara konsep dan program ruang gedung baru. Kedua sayembara desain dan estimasi biaya berdasarkan konsep dan program ruang dari pemenang.(faa)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/25800-perpres-gedung-negara-segera-terbit

 
Jehan:
Standar ruang dan teknis bangunan memang ditetapkan PU, namun konsep bangunan dan program kebutuhan ruang ditentukan OWNER. Nah, owner nya memang DPR... tapi masalah Gedung Baru DPR ini sudah merebak ke Owner nya Owner alias rakyat luas. Jadi yang paling tepat adalah dengan sayembara. Nanti standar-standar teknis dari PU ttg gedung negara tetap perlu jadi acuan.

Mengatasi Permasalahan Lingkungan Hidup Perlu Reformasi Birokrasi

Kamis, 30-09-2010 12:09:25 wib
Laporan Reporter Jak tv : Naura Mustika, Attaris Mauldin

JAKARTA - Pengamat Tata Ruang Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar menyatakan, perbaikan kondisi lingkungan hidup di Jakarta tidak bisa hanya dengan melakukan penataan fisik saja, namun juga diperlukan perombakan birokrasi, sehingga kebijakan yang menyangkut lingkungan hidup bisa tepat sasaran.
Jehansyah menyatakan, perlu orang – orang yang kompeten untuk mengatasi permasalah lingkungan hidup di Jakarta. Mengingat penataan lingkungan hidup di Jakarta membutuhkan komitment yang kuat, bukan sekedar janji, namun setelah merasa tidak bisa merealisasikan justru melimpahkan ke pemerintah pusat.
Kondisi ini menurut Jehansyah justru akan menimbulkan kecemburuan sosial di beberapa daerah Indonesia. Oleh karena itu reformasi birokrasi sangat diperlukan.
Jehansyah menambahkan, kondisi ruang terbuka Jakarta pun sudah tidak bisa diharapkan. Mengingat setiap daerah idealnya menyediakan setidaknya 30% ruang terbuka dari total luas wilayah, namun di Jakarta ruang terbuka hanya tersisa 6% saja.


http://www.jak-tv.com/index.php?modul=detailnews&catID=25&key=2181